Ketika Banten mengukuhkan diri sebagai Provinsi yang ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 besar harapan warga untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Setidaknya, dengan menjadi provinsi sendiri, Banten bisa menjadi lebih maju dan bisa bersaing dengan daerah lain. Sekarang tanpa terasa sudah 10 tahun usianya dan Banten sudah banyak meraih langkah kemajuan yang pasti. Sebagai provinsi baru, memang perlu banyak bebenah diri, mulai dari sistem pemerintahan, aturan, pola pembangunan, stragegi, perencanaan dan lain sebagainya. Usaha itu tidak sia-sia karena sampai saat ini Banten sudah mampu meraih target-target pembangunan sesuai RPJMN yang diderivasikan melalui RPJMD, meski masih banyak kekurangan disana-sini. Ini terbukti dari hasil Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Akhir masa Jabatan Gubernur Banten Periode 2007-2012 yang menyebutkan bahwa peningkatan pendapatan Banten di tahun 2007 sebesar Rp. 1.908.749.559.388,00 (satu trilyun sembilan Ratus delapan milyar tujuh ratus empat Puluh sembilan juta lima ratus lima puluh Sembilan ribu tiga ratus delapan puluh Delapan rupiah) meningkat menjadi Rp.3.139.451.309.696 (tiga trilyun seratus tiga Puluh sembilan milyar empat ratus lima Puluh satu juta tiga ratus sembilan ribu Enam ratus sembilan puluh enam rupiah). Hingga pada Tahun 2010, sehingga mengalami peningkatan Sebesar Rp. ,230,701,750,308.00 (satu trilyun dua Ratus tiga puluh milyar tujuh ratus satu Juta tujuh ratus lima puluh ribu tiga ratus Delapan rupiah). Begitu juga dengan PDRB (Domestik regional bruto) provinsi Banten pada tahun 2007 sebesar Rp. 107.499.652.420.000,00 (seratus tujuh trilyun empat ratus sembilan Puluh sembilan milyar enam ratus lima Puluh dua juta empat ratus dua puluh ribu Rupiah), tahun 2010 sebesar Rp. 148.976.218.930.000,00 (seratus empat puluh Delapan trilyun sembilan ratus tujuh puluh Enam milyar dua ratus delapan belas juta Sembilan ratus tiga puluh ribu rupiah), Mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2009 yang Hanya sebesar Rp. 133.048.007.120.000,00 (seratusTiga puluh tiga trilyun empat puluh delapan Milyar tujuh juta seratus dua puluh ribu Rupiah). Kedepan rencana menjadikan Banten sebagai Waterfront City antar pulau dan pembangunan Bandara Panimbang akan semakin mengukuhkan Banten sebagai provinsi tercepat dalam mengejar ketertinggalannya. Namun sebelum jauh ketujuan tersebut, alangkah baiknya jika Banten mau berbenah diri untuk mendapatkan prestasi antar provinsi; meraih piala Adipura misalnya? Mengapa tidak. Untuk diketahui, program Adipura sebenarnya berasal dari program Bangun Praja yakni suatu program kerja berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam rangka mewujudkan kota bersih dan teduh. Sedangkan Adipura adalah suatu program penghargaan yang diberikan secara langsung oleh Presiden kepada kota yang berhasil mengelola kebersihan dan keteduhan kota sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Program Adipura ini merupakan Program Kerja dari Kementerian Negara Republik Indonesia yang bertujuan antara lain: 1. Sebagai motivasi, terutama dalam upaya merubah paradigma hidup bersih dan sehat di kalangan masyarakat. 2. Mendorong kota-kota menuju Kota Bersih dan Teduh (Clean and Green City) 3. Mampu mengelola limbah domestik, seperti; • Pengembangan standar, pedoman dan peraturan perundang-undangan Pembangunan TPA Regional • Pembangunan Pusat Pengelolaan Sampah Terpadu • Penyiapan Substansi Rancangan Undang-undang Sampah • Pengelolaan Subsidi Kompos dari GEF di Jabodetabek 4. Membantu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam mendorong kemampuan pemerintah daerah dan peran serta masyarakat guna meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup perkotaan 5. Menciptakan lingkungan perkotaan yang bersih dan teduh 6. Mewujudkan pembinaan dan pengawasan dalam pengelolaan lingkungan perkotaan 7. Membina koordinasi dan kerjasama antar instansi terkait, serta 8. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan kebersihan kota Program Bangun Praja ini diikuti oleh semua kota-kota yang ada di Indonesia, sedangkan yang memantau dan mengevaluasi semua kabupaten/kota adalah Kementerian Lingkungan Hidup. Dalam hal penilaian terdapat klasifikasi kategori kota, penilaian ini berdasarkan pada jumlah penduduk yang ada di daerah perkotaan yang ada diwilayah masing-masing. Kategori kota adalah klasifikasi kota berdasarkan besarnya jumlah penduduk ibukota dari kabupaten/kota yang bersangkutan, terdiri dari 4 kategori yaitu : 1. Kota Metropolitan 2. Kota Besar 3. Kota Sedang, dan 4. Kota Kecil Berikut ini pengelompokan klasifikasi kota peserta Program: No Kategori Kota Jumlah Penduduk 1. Metropolitan > 1.000.000 Jiwa 2. Besar 500.001 – 1.000.000 Jiwa 3. Sedang 100.00 1 – 500.000 Jiwa 4. Kecil 20.00 1 – 100.000 Jiwa Kriteria penilaian dalam evaluasi Program ini melalui evaluasi komponen baik fisik maupun non fisik. Komponen non fisik itu adalah penilaian yang berupa upaya peningkatan pemerintah daerah dalam mengelola lingkungan hidup yang sifatnya berupa kegiatan fisik yakni : § Manajemen; § Dayatanggap pemerintah daerah; § Kelembagaan. Sedangkan komponen penilaian fisik terdiri atas penilaian : § Perumahan; § Sarana kota; § Perairan terbuka; § Sarana kebersihan; dan § Pantai wisata. Penilaian atas komponen non fisik dan komponen fisik ditetapkan berdasarkan kondisi spesifik kota yang bersangkutan diatur dalam Pedoman Pelaksanaan Bangun Praja. Pemantauan atas pelaksanaan Program ini dilakukan selama 2 kali dalam setahun yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi, Masyarakat dan unsur Perguruan Tinggi. Untuk kabupaten/kota yang keikut-sertaannya baru pertama kali dalam Program ini dilakukan pemantauan awal (baseline) sebagai dasar untuk pemantauan selanjutnya. Pemantauan Program ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari : 1. Kementerian Lingkungan Hidup 2. Pemerintah Daerah Provinsi 3. Wakil Masyarakat Dari daerah provinsi biasanya tim pemantau terdiri dari; 1. Instansi Pemerintah setempat 2. LSM/OMS 3. Akademisi Pemantauan dilaksanakan dengan azas netralitas dan objektifitas dimana pemantauan ini dilakukan dalam kurun waktu tertentu dengan Frekuensi pemantauan minimal 2 kali per tahun plus pemantauan verifikasi. Adapun lamanya pemantauan disesuaikan dengan kondisi kota sebagai berikut; § Kota Metro : minimal 14 hari § Kota besar : 10 hari § Kota sedang : minimal 5 hari § Kota kecil : minimal 3 hari Ada beberapa kriteria Adipura yang bisa dimenangkan suatu wilayah, yakni; • Indikator kondisi fisik lingkungan perkotaan dalam hal kebersihan dan keteduhan kota; kebersihan dari sampah dan keteduhan termasuk pengendalian pencemaran air dan udara. • Indikator pengelolaan lingkungan perkotaan (non-fisik), yang meliputi institusi, manajemen, dan daya tanggap. • Kompleksitas penilaian mencakup pemanfaatan lain penanganan sampah (selain reduce, reuse dan recycle), pemantauan kualitas badan air, pelaksanaan standar pelayanan minimal di bidang lingkungan hidup (SPM LH), estetika kota, kesesuaian rencana tata ruang wilayah (RTRW), dan peran aktif masyarakat. • Serta nilai estetika pada ruang terbuka hijau (RTH) Sebagai pemenang pertama Adipura sebagai Kota Metropolitan Terbersih se-Indonesia tahun 2011 lalu adalah Provinsi Surabaya dan Palembang. Tidakkah Banten berkeinginan memperoleh predikat sebagai Provinsi terbersih se Indonesia? Tentu saja. Untuk itu Banten harus memenuhi semua kriteria yang menjadi persyaratan lomba. Salah satu kriteria Adipura adalah masalah kesesuaian rencana tata ruang wilayah (RTRW). Seperti diketahui program Rencana Pembangunan Jangka Nasional (RPJMN) yang diderivasikan dalam bentuk RPJMD merupakan rangkaian program pemerintah untuk membangun wilayahnya. Apa yang akan dibangun dalam program tersebut tentu memerlukan tempat dan disinilah pentingnya peranan perencana tata ruang wilayah agar terwujud kesesuaian antara apa yang diprogramkan dengan ketersediaan wilayahnya. Sejauh ini persoalan RTRW di Banten masih belum terselesaikan sepenuhnya. Sebagian wilayah masih menunggu rekomendasi Gubernur untuk bisa mewujudkan RTRW nya seperti wilayah diKabupaten Lebak, Kabupaten Serang, dan Kota Tangerang Selatan masih dalam tahap penyusunan RTRW dan akan dijadwalkan untuk dibahas di BKPRD. Selain itu berbagai persoalan penataan ruang juga meliputi banyak hal, sekalipun sudah ada wacana penataan ruang yang berwawasan lingkungan seperti tertuang dalam bagan berikut ini;

 Demikian juga dengan persoalan kebersihan daerah, salah satu daerah Banten yang sampai saat ini bermasalah dengan persoalan sampah adalah Tangerang Selatan. Sampah saat ini masih menjadi momok me¬na¬kutkan bagi warga Kota Tangsel se¬hingga masih menjadi ma¬salah utama. Berbagai cara sudah dilakukan untuk me¬nga¬tasi sampah dari penargetan 30 tempat pem-buangan sampah terpadu (TPST) di tujuh kecamatan oleh Pemkot Tang¬sel hingga sang walikota menyiapkan hadiah sebesar Rp 150 juta un¬tuk wilayah terbersih, namun hingga kini belum ada realisasi. Selain sampah persoalan pencemaran limbah terhadap sumber daya air juga masih menjadi kendala dan pekerjaan rumah pemerintah daerah untuk membuatkan peraturannya. Sementara itu dari sisi manajemen dan institusi, berdasarkan analisa dalam Renstra 2002-2006 yang hingga kini belum banyak perubahan dimana aparat pemerintah Propinsi Banten sebagian besar berasal dari lembaga atau daerah lain sehingga belum memiliki persepsi yang sama terhadap tujuan dan arah pembangunan yang pada akhirnya masih sulit menghasilkan kinerja dan produktivitas yang diharapkan. Kinerja pemerintah saat ini, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif, masih belum optimal sehingga masyarakat belum melihat terwujudnya sistem kepemerintahan yang baik yang tercermin dari belum optimalnya pelayanan kepada masyarakat. Padahal, optimalisasi pelayanan diperlukan untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat guna menciptakan stabilitas sosial, politik dan keamanan. Demikian juga terhadap nilai estetika pada ruang terbuka hijau (RTH), sekalipun Banten telah memiliki kawasan pusat pemerintahan namun belum sepenuhnya memiliki nilai estetika sebagai pusat pemerintahan yang asri dan berkarakter. Pada ruang-ruang terbuka, belum terlihat penaatan taman, penataan ruang publik, pasar hingga pagar-pagar gedung instansi yang belum terlihat menarik. Jika kondisi real yang dihadapi Banten sedemikian kompleksnya, mungkinkah Banten bisa memenangkan piala Adipura? Jawabannya sangat mungkin!. Asalkan semua pihak yang terkait, baik penyelenggara pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, serta peningkatan kualitas sumberdaya manusianya saling bekerja sama dan mendukung satu sama lain dalam mewujudkan keinginan tersebut. Tidak hanya itu, perlu juga didukung oleh instrumen hukum lengkap, termasuk penataan hukum, penegakan hukum dan aparatusnya yang berjalan sesuai hukun dan keadilan. Memiliki kelembagaan yang kuat, aspiratif dan akomodatif baik dari pihak pemerintah, stake holder maupun lembaga masyarakatnya. Serta partisipasi masyarakat yang sadar dan peduli terhadap lingkungnnya. Bagaimana Banten bisa mewujudkan hal itu? Barangkali kita bisa memulai dari hal yang kecil dulu. Memulai dari diri kita sendiri, dalam hal menjaga kebersihan, patuh pada aturan hukum, penataan tempat tinggal, ruang bekerja, hingga nilai estetika itu muncul dengan sendirinya. Suatu wilayah akan terlihat cantik apabila memiliki model pagar taman jalan yang sama, model halte kendaraan yang sama, atau model pintu gerbang instansi yang sama misalnya. Begitu juga dengan penataan tamannya. Tak hanya taman dijalan yang mesti ditata indah baik dari pot maupun jenis tanamannya tetapi juga taman rumah-rumah warganya. Seperti di Jakarta yang berhasil menghijaukan beberapa perkampungannya. Begitu juga dengan wilayah Banten, jika belum bisa sampai tingkat provinsi, tentu bisa dimulai dari tingkat masing-masing daerahnya. Dari 8 wilayah kota/kabupaten yang dimiliki Banten, dua diantaranya sudah pernah menjadi juara Adipura tingkat kota yakni Kota Tangerang untuk kategori Kota Metropolitan dan Lebak untuk kategori Kota Sedang. Untuk Lebak piala Adipura diperoleh pada tahun 1998 dan Lebak dengan penuh optimisme akan kembali maju untuk Adipura kedua ditahun ini. sedangkan Kota Tangerang memperoleh piala Adipura sejak tahun 2010 dan 2011 serta tetap ingin terus mempertahankan di program Adipura 2012 ini. Selain itu, dari kedua kota tersebut ternyata kota Tangerang Selatanpun tak mau ketinggalan semangat untuk bisa meraih piala Adipura di tahun 2012. Meski persoalan pokok kota ini adalah sampah (yang menjadi kriteria utama penilaian kota terbersih) namun Tangsel optimis bisa meraih kemenangan Adipura. Hal ini diamini oleh Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Banten, Karimil Fatah yang mengatakan, tiga daerah kabupaten/kota tersebut sangat berpeluang meraih Adipura tahun ini. Dua dari delapan wilayah provinsi Banten sudah memulai langkah kecilnya meraih Adipura. Tangsel sedang berupaya keras bisa masuk sebagai juara yang kebetulan penilaiannya dilaksanakan di bulan April-Mei tahun ini. Semoga jejak positif ini bisa diduplikasi oleh ke lima sisa kota lainnya dan menjadikan Banten sebagai Provinsi yang patut meraih piala Adipura, segera.(taz115012)
Tangerang merupakan sebuah kota industry yang memiliki kurang lebih 1000 pabrik di dalamnya. Berada diposisi strategis sebagai salah satu penyangga ibu kota Negara Jakarta dengan jumlah populasi sekitar 1.451.595 jiwa untuk wilayah Tangerang kota, 2.959.600 jiwa untuk kabupaten Tangerang dan 1.241.441 jiwa untuk Tangerang Selatan . Sebagai wilayah yang terletak diantara ibukota Jakarta dan sunda maka kultur masyarakat Tangerang adalah percampuran dari suku Betawi, Cina dan Sunda sehingga dalam kebudayaannyapun tak jauh berbeda dengan kebudayaan yang ada di Betawi dan Sunda. Sebagai daerah ‘pinggiran’, Tangerang sekarang tengah bekerja keras mengejar ketertinggalannya dari kota-kota lain, diantaranya sekarang tengah giat-giatnya merapikan diri guna memperoleh penghargaan adipura sebagai kota terbersih seprovinsi Banten. Berbicara mengenai kota terbersih, rupanya pemimpin kota ini tidak hanya ingin bersih secara harfiah saja dalam arti kota yang hijau, rapi, tertata dan tertib tetapi juga bersih dalam arti bebas dari segala macam jenis sampah. Baik itu sampah dalam arti yang sebenarnya (yang mana persoalan TPA sampah pun masih dalam isu yang hangat) maupun sampah dalam arti sampah masyarakat; perjudian, miras, pelacuran maupun korupsi. Niatan kearah ini telah sebagian besar dilakukan pemerintah kota Tangerang, diantaranya dengan penataan pedagang kaki lima di wilayah pasar anyar/lama, penertiban masyarakat di wilayah sepanjang jalur kereta maupun sungai Cisadane, pembuatan hutan kota di Cikokol, penutupan kompleks hiburan malam Pinangsia di Lippo Karawaci, pemberantasan minuman keras dan yang paling kontraversial adalah adanya perda pelacuran no 8 tahun 2005. Sekilas upaya-upaya pemerintah tersebut terlihat baik dan patut diacungi jempol. Namun, persoalannya itu tidak semudah kelihatannya. Misalnya, Apakah telah dipikirkan kemana masyarakat yang berdiam disepanjang jalur rel kereta akan dipindahkan? Apakah TPA sampah tidak menimbulkan masalah untuk masyarakat disekitarnya? Apakah memikirkan bagaimana dampak mematikan penghidupan ratusan orang yang bergantung hidup pada usaha hiburan malam di Pinangsia, Dan apakah munculnya perda pelacuran itu tidak merugikan kaum perempuan? Yang lebih penting adalah, apakah pemerintah kota Tangerang memikirkan konsekwensi-konsekwensi yang terjadi dari tindakan-tindakannya tersebut? Inilah yang menjadi persoalannya. Atas nama motto kota Tangerang yang berakhlakul karimah, ingin menjadikan kota Tangerang sebagai kota yang berjiwa islami, yang beriman dan bertaqwa maka sebagai wujud realisasinya adalah upaya-upaya ‘pembersihan’ tersebut muncul. Hal ini tidak hanya terjadi di kota Tangerang saja, hampir lebih dua pertiga dari 106 kebijakan-kebijakan daerah yang lahir dinegri ini memiliki motivasi serupa. Sebagai kota industry, Tangerang yang banyak terdapat pabrik pasti banyak terdapat buruh pekerja. Dan diantara buruh pekerja itu dominannya adalah kaum wanita. Dengan dominasi kaum wanita jelas, persoalan diskriminasi dan tindak kekerasan pun lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini seperti dilansir LBH Apik bahwa dari 1058 kasus yang terjadi, 39nya itu terjadi di Tangerang. Misalnya saja; Kasus Prita yang sempat menjadi kasus primadona, lalu kasus Fifi Ariyani (46th) seorang PSK yang tewas oleh 4 oknum satpol PP lantaran dilempari batu dan ditakut-takuti hingga tercebut ke sungai Cisadane (Mei 2009) dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Persoalan kekerasan dan diskriminasi ini tidak hanya terjadi pada sector pekerjaan saja, tetapi juga pada sector rumah tangga, seperti contoh kasus baru-baru ini; seorang ibu guru bernama haraya (37th) tewas di tusuk suaminya sendiri (Tangerang ekspres, senin 8 feb 2010) hanya karena meminta haknya untuk bercerai. Banyaknya kasus-kasus yang menimpa kaum wanita ini seringkali tidak mendapatkan ketuntasan penyelesaian lantaran kurangnya aturan-aturan hokum yang melindungi kaum perempuan. Tidak hanya itu undang-undang yang dibuatpun masih banyak yang tidak mengakomodir kebutuhan kaum perempuan. Sekalipun ada, tetapi tidak saling mendukung satu sama lain; misalnya pasal 28 E UUD 45 yang menjamin setiap warganegara untuk memeluk agama dan menganut kepercayaan serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaaannya, tetapi beberapa perda setempat ada yang memberlakukan pelarangan tidak menggunakan jilbab, seperti pada perda Aceh no 14/2003 tentang khlawat. Munculnya perda-perda yang diskriminatif ini sementara belum bisa diatasi oleh system ketatanegaraan kita, Departemen Dalam Negri dan Mahkamah Agung belum menunjukkan kepemimpinan yang tegas dalam menjalankan fungsi pengawasannya, ditambah lagi, Mahkamah Konstitusi tidak dapat menyentuh kebijakan daerah yang melanggar konstitusi. Ini berarti ada ketidak sinkronisan antara Undang-undang yang lebih tinggi dengan peraturan-peraturan local, seharusnya terjadi apa yang disebut; ‘ lex superiori derogate lex inferiori’ bahwa peraturan yang lebih tinggi mengabaikan peraturan yang lebih rendah, bukan sebaliknya atau malah tidak dipedulikan sama sekali. Akibatnya adalah munculnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan, KDRT, trafficking dan lain sebagainya yang sebagian besar dialami oleh kaum perempuan. Berdasarkan hasil penelitian, dari 154 kebijakan daerah yang diterbitkan di tingkat provinsi antara tahun 2003-2005, 64 diantaranya itu secara langsung diskriminatif terhadap perempuan. Dengan perincian diskriminasi sebagai berikut; - Diskriminasi terhadap pembatasan hak kemerdakaan berekspresi = 21 kebijakan yang mengatur cara berpakaian - Diskriminasi terhadap pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hokum, yang menkriminalisasi perempuan = 38 kebijakan tentang pemberantasan prostitusi dan 1 larangan khalwat - Diskriminasi terhadap pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan = 4 kebijakan tentang buruh migrant - Selebihnya 82 kebijakan daerah yang mengatur tentang agama yang sesungguhnya merupakan kewenangan pusat dan telah berdampak pada pembatasan kebebasan tiap warga Negara untuk beibadat menurut keyakinannya dan mengakibatkan pengucilan kelompok minoritas. - 9 kebijakan lain merupakan pembatasan atas kebebasan memeluk agama bagi kelompok ahmadiyah Landasan hokum Padahal, semua hak-hak yang dibatasi ini merupakan hak-hak konstitusional yang dijamin bagi setiap warga negera Indonesial tanpa kecuali, seperti halnya disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 tentang apa yang menjadi tujuan, cita-cita dan landasan Negara; …….bahwa untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesaia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdeakan, perdamaian abadi dan keadilan social….. Serta dalam batang tubuh Undang-Undang itu sendiri yang menegaskan apa yang menjadi hak setiap warganegaranya dijamin oleh konstitusi. Kurang lebih ada 40 hak yang dinyatakan dalam UUD 45 diantaranya adalah; hak atas kepastian hokum dan perlakuan yang sama dihadapan hokum (pasal 28 D ayat 1); hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani (pasal 28 I ayat 1); hak ats penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2 ); hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancarman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (pasal 28 G ayat 1); serta hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan hak atas perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif (pasal 28 I ayat 2). lex superiori derogate lex inferiori Dengan demikian, nampaklah gambaran kita tentang wajah hokum negri ini. Bahwa perda no 8 tahun 2005 yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Tangerang mengenai pemberantasan pelacuran tidak selaras dengan Undang-undang yang lebih tinggi di atasnya, terutama pasal 28 I ayat 2. Perda tersebut telah banyak menimbulkan kecemasan dan masalah bagi kaum perempuan, dan ini sangat diskriminatif. Sejalan dengan hal itu, berbagai kontraversi muncul dimasyarakat terkait dengan lahirnya perda tersebut, berbagai upaya masyarakat pun dilakukan, diantaranya pernah ada tiga warga Tangerang yang mengajukan kasasi uji materi pada tanggal 20 April 2006 , namun ironisnya ditolak Mahkamah Agung dengan alasan, putusan perda Tangerang no 8/2005 itu dianggap tidak bertentangan dengan UUD 45 karena pembentukannya berlangsung lama dan telah melibatkan berbagai elemen masyarakat, juga karena perda adalah implementasi politik pemerintah dan bukan produk hokum. Dengan begitu, dimana konteks ‘lex superiori derogate lex inferiori’ itu dalam aturan hukum kita? Jika peraturan yang lebih tingginya tidak mampu mengabaikan peraturan yang lebih rendah. Persoalan pelacuran bukan hal yang baru di kota ini, di negri ini bahkan di dunia. Soal pelacuran ini sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya dan tetap lestari hingga kini. Bahkan dinegara yang katanya maju pun, persoalan ini tetap tak bisa dihilangkan atau dinegara Arab pun yang katanya semua ‘islami’, tetap saja pelacuran itu ada meski dengan cara sembunyi-sembunyi. Apalagi di kota Tangerang? Mengapa? Dalam istilah ekonomi, kita mengenal adanya supply and demand. Artinya; adanya pelacuran karena memang ada demand yang tinggi terhadap kebutuhan itu. Pertanyaannya adalah mengapa ada demand yang tinggi terhadap kebutuhan tersebut? Banyak factor diantaranya; stress pekerjaan, cekcok dalam rumah tangga, hobby juga dan lain sebagainya. Siapa yang memiliki demand tinggi terhadap kebutuhan tersebut? Lalu mengapa hanya perempuan yang dikenai sanksinya? Ini jelas diskriminatif. Dari kacamata sosiologi, persoalan pelacuran ini tidak bisa hanya perempuannya saja yang dikenakan pelabelan ‘pelacur’, tetapi juga pada yang ‘demand’ terhadap pelacuran itu sendiri, yakni kaum lelaki. Supply dan demand atas pelacuran itu datang dari masyarakat yang bersangkutan, sehingga jika dicoba untuk diberantas tuntas, bisa jadi justru akan semakin tumbuh berkembang dan terselubung. Perda No. 8 tidak akan menghilangkan bentuk pelacuran itu sendiri selama demand terhadapnya masih ada. Oleh karenanya, pelacuran tidak bisa dihilangkan secara total, tetapi bisa dicegah dan dikurangi. Konsep ini dahulu yang harus disadari, dengan demikian demand nya dulu yang harus ditekan. Logikanya, jika tidak ada permintaan tentu tidak akan ada penawaran. Bagaimana menekan tingkat demand terhadap pelacuran tersebut, inilah yang harus dicarikan jalan keluarnya, bukan hanya mematikan pelacurnya. Memindahkan Perda Pelacuran Kepada Perda Kesejahteraan Demand masyarakat terhadap kebutuhan biologis di luar yang seharusnya itu bisa dialihkan dengan memberdayakan masyarakatnya. Mengalihkan perhatian masyarakat pada hal-hal yang positif, menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan produktif, meningkatkan bounding antar warga baik itu dengan kerja bakti, diskusi maupun kegiatan pengajian. Jika yang menjadi alasan utama adalah persoalan ekonomi, maka yang harus ditingkatkan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa dengan berbagai cara, misalnya; menyediakan lapangan pekerjaan, menyediakan balai-balai latihan kerja dan keterampilan gratis, memberi layanan kesehatan yang murah, memberikan layanan public yang sederhana dan tidak berbelit-belit, menberikan pelayanan pendidikan gratis dari SD hingga sekolah menengah atas, membangkitkan potensi daerah dan masih banyak lagi. Jika upaya-upaya mensejahterakan masyarakat telah optimal dilakukan, agar tetap berkesinambungan maka perlu dibentuk kerjasama yang baik antara pemerintah daerah, stake holder dan masyarakatnya. Misalnya saja dengan membangun kelompok kerja yang diwakili oleh para akademisi, partai politik, media massa, tokoh agama dan anggota dewan itu sendiri. Kelompok ini nantinya bisa berfungsi sebagai pengontrol dan penyalur serta wadah sosialisasi antara kebijakan pemerintah dengan warganya. Dengan adanya wadah ini bisa mengurangi juga kesan-kesan negative dari masyarakat terhadap lembaga pemerintah daerahnya sendiri yang sejauh ini selalu mendapat pencitraan yang berjarak. Tidak hanya itu, pemanfaatan asset-aset daerah yang dimiliki seperti stasiun radio, televisi maupun internet harus juga berperan aktif dalam proses mensejahterakan rakyat ini. Fasilitas-fasilitas itu bisa digunakan sebagai alat tercapainya tujuan bersama. Misalnya saja, distasiun radio local ada forum dialog antara wakil rakyat dengan rakyatnya atau balai-balai kota yang bisa jadi tempat diskusi antara warga dan wakil rakytatnya dan lain sebagainya, sehingga ada kedekatan emosional yang terjalin antara warga dengan wakil rakyatnya, menghilangkan kesan esklusivisme para anggota dewan dan dapat saling menyelaraskan kepentingan bersama. Pendekatan keagamaan pun tak kalah penting sebagai salah satu upaya mensejahterakan rakyat. Menyelaraskan motto kota Tangerang yang berakhlakul karimah, maka yang harus ditingkatkan adalah kualitas ketaqwaan warga kepada Tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya. Memberikan keluasan warga untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, tidak dengan justru membakar tempat-tempat ibadahnya. Jika keyakinan kepada agama dan Tuhan dapat mengurangi perilaku-perilaku yang tidak baik, maka inilah yang harus dibenahi. Hidupkan pengajian-pengajian dan pengkajian-penkajian agama, toleransi antar sesama umatnya dan saling menghargai. Yang terpenting dari semua itu adalah adanya kesadaran baik oleh warga masyarakat maupun pemerintah daerah untuk terbuka terhadap perubahan. Tentu saja perubahan kearah yang lebih baik. Adanya perda no 8 tahun 2005 yang tidak sesuai dengan Undang-undang yang berada di atasnya merupakan indikasi perubahan terhadap kemunduran. Perda diskriminatif ini telah membatasi kebebasan kaum perempuan dalam berbagai hak-haknya dan itu merugikan kaum perempuan. Oleh karena itu, perda ini harus alihkan menjadi perda yang lebih mensejahterakan rakyat. Jika rakyat sejahtera, tercukupi sandang dan papannya serta merasa aman diwilayahnya tentu rakyat tak perlu mencari nafkah sebagai PSK. Untuk itulah pentingnya peran dewan legislasi daerah untuk melahirkan perda-perda inisiatif yang non diskriminasi, salah satunya adalah mengupayakan lahirnya perda yang mensejahterakan rakyat, misalnya perda tentang koperasi untuk kaum perempuan. (TNG 2009)